khiyar, musaqoh, muzaroah dan muhkobaroh
TUGAS INDIVIDU
KHIYAR, MUSAQOH, MUZARO’AH DAN MUKHOBAROH
TUGAS
MAKALAH
DISUSUN UNTUK MEMENUHI TUGAS PADA MATA KULIAH PENDALAMAN
MATERI FIKIH DI MA
(DOSEN : H. AMIN FARIH, M.Ag)
OLEH :MASPUAH, SHI.
PENDIDIKAN PROFESI GURU (PPG)
LPTK RAYON 206 FAKULTAS TARBIYAH
IAIN WALISONGO
SEMARANG
TA.
2012 – 2013
- Pendahuluan
Islam
merupakan agama rahmatan llil ‘alamin, yang di dalamnya mengatur kehidupan
manusia di bumi ini. Selain itu Islam merupakan
pedomaan hidup manusia (way of life). Secara garis besar Islam mengatur
3 hal, yaitu akidah, ahlaq dan syari’ah.
Jual-beli merupakan
aktivitas yang dilakukan manusia dalam berekonomi baik itu sebagai produsen
ataupun konsumen, dalam Islam istilah tersebut sering kita kenal dengan
muamalah artinya semua aktivitas yang lebih banyak dilakukan dengan manusia
lainnnya atau lebih bersifat dengan keduniawian, meskipun lebih bersifat
keduniawian kita tidak boleh menyimpang dari aturan Allah, sebab semua
aktivitas manusia kelak akan dimintai pertanggung jawabannya. Begitu pula dalam hal jual-beli.
Dalam bertransaksi (jual-beli ) di
semua kegiatan berekonomi tentunya tidak akan terlepas dari sebuah penawaran,
baik yang dilakukan oleh penjual atau pembeli, dalam Islam disebut dengan
istilah khiyar artinya tawarr-menawar/hak pilih. Pada makalah ini penyusun akan
mencoba membahas Khiyar dalam jual beli tradisional dan modern (barang
bergaransi).
Selain
aktivitas jual beli yang sering kita lakukan, masalah kerjasama atas tanah pertanian
pun menjadi aktivitas kita sehari-hari. Karena kita tahu bahwa manusia
merupakan makhluk sosial yang selalu membutuhkan bantuan orang lain. Terlebih
di daerah pedesaan yang penduduknya sebagian besar bermata pencaharian sebagai
petani maupun buruh tani/penggarap. Oleh karena itu, pada makalah ini akan
dibahas mengenai definisi musaqah, muzara’ah
dan pengembangannya dalam kontekstualisasinya dengan
ekonomi modern dan mukhabarah
serta kontekstualisasinya di
masyarakat modern.
- Khiyar dalam jual beli tradisional dan modern (barang bergaransi).
Di dalam syariah, kita mengnal istilah
mu’amalah, dan yang kita kenal salah satunya
adalah jual beli. Di dalam jual beli, Islam mengatur adanya khiytar.
Ada slogan “agar tidak salah
pilih, telitilah sebelum memilih”. Slogan ini sering kita dengar agar kita tidak salah dalam memilih apa
yang akan kita beli.
A. Definisi dan Dalil
Persyaratan Khiyar
1. Definisi Khiyar
Khiyar,
secara bahasa adalah berasal kata ikhtiyar yang artinya mencari yang
baik dari dua urusan, baik meneruskan akad atau membatalnya. Sedangkan menurut
istilah kalangan ulama fiqh yaitu mencari yang baik dari dua urusan, baik
berupa meneruskan akad atau membatalkannya. Dari sini terlihat bahwa makna
secara istilah tidak beitu berbeda dengan maknanya secara bahasa. Oleh sebab
itu, sebagian ulama terkini mereka
mendefinisikan khiyar secara
syar’I sebagai “Hak orang yang berakad
dalam membatalkan akad atau meneruskan karena ada sebab-sebab syar’I yang dapat
membatalkan sesuai kesepakatan ketika berakad.” [1]
2. Dalil Pensyariatan Khiyar
Hak
khiyar telah ditetapkan oleh Al-Qur’an, Sunah dan Ijma’
Adapun
dalil al Qur’an adalah :
وأحل
الله البيع...
Artinya
: Alloh telah menghalalkan jual beli (QS. Al Baqarah : 275)[2]
Lafal
jual beli dalam ayat ini adalah umum meliputi semua akad jual beli dengan
begitu menjadi mubah (boleh) untuk semua termasuk di dalamnya adalah khiyar.
Dalil sunahnya
adalah di antaranya sabda Rasululloh SAW yang diriwayatkan oleh Ibnu Umar bahwa seorang laki-laki diceritakan kepada
Nabi bahwa dia suka menipu dalam jual beli. Maka Nabi berkata kepadanya : “Jika
kamu menjual sesuatu, maka katakan tidak ada penipuan” Hadits ini adalah dalil
tentang belehnya menetapkan khiyar syarat kepada pembeli.[3]
3.
Macam-macam
Khiyar
Dalam literatur
fikih muamalat terdapat kurang lebih 8 (delapan) macam khiyar.[4]
Namun untuk kajian kali ini hanya akan dibahas empat macam khiyar yang penting
yaitu Khiyar Majlis, Khiyar asy-Syarth, Khiyar ar-Ru’yah dan Khiyar ‘Aib.
1.
Khiyar Majlis.
Yang dimaksud dengan
khiyar majlis adalah hak pilih dari pihak yang melangsungkan akad untuk
membatalkan (mem-fasakh) kontrak selama mereka masih berada di tempat
diadakannya kontrak (majlis akad) dan belum berpisah secara fisik.[5]
Dasar hukum khiyar
masjlis adalah :
عن ابن
عمر رضى الله عنه قال النبي ص م : البيّعان بالخيار مالم يتفرّقا (رواه
البخارى و مسلم)
“Apabila dua orang melakukan akad
jual beli, maka masing-masing pihak mempunyai hak pilih, selama keduanya belum
berpisah badan…(HR.
al-Bukhari dan Muslim dari Abdullah ibn ‘Umar).
2.
Khiyar Syarat
Khiyar syarat
merupakan hak dari masing-masing pihak yang menyelenggarakan akad untuk
melanjutkan atau membatalkan akad dalam jangka waktu tertentu. Misalnya
dalam suatu transaksi jual beli seorang pembeli berkata kepada penjual : Aku
membeli barang ini dari kamu dengan syarat aku diberi khiyar selama sehari atau
tiga hari. Khiyar ini diperlukan karena si pembeli perlu waktu untuk
mempertimbangkan masak-masak pembelian ini. Ia juga perlu diberikan kesempatan
untuk mencari orang yang lebih ahli untuk diminta pendapatnya mengenai barang
yang akan dibeli sehingga terhindar dari kerugian atau penipuan.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ : سَمِعْتُ رَجُلاً مِنَ الأَنْصَارِ
وَكَانَتْ بِلِسَانِهِ لَوْثَةٌ يَشْكُو إِلَى رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه
وسلم- : أَنَّهُ لاَ يَزَالُ يُغْبَنُ فِى الْبَيْعِ فَقَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- :« إِذَا بَايَعْتَ فَقَلْ لاَ
خِلاَبَةَ ثُمَّ أَنْتَ بِالْخِيَارِ
فِى كُلِّ سِلْعَةٍ ابْتَعْتَهَا ثَلاَثَ لَيَالٍ فَإِنْ رَضِيتَ فَأَمْسِكْ
وَإِنْ سَخِطْتَ فَارْدُدْ ». قَالَ ابْنُ عُمَرَ : فَلَكَأَنِّى الآنَ أَسْمَعُهُ
إِذَا ابْتَاعَ يَقُولُ : لاَ خِلاَبَةَ يَلُوثُ لِسَانُهُ. قَالَ ابْنُ إِسْحَاقَ
فَحَدَّثْتُ بِهَذَا الْحَدِيثِ مُحَمَّدَ بْنَ يَحْيَى بْنِ حَبَّانَ قَالَ :
كَانَ جَدِّى مُنْقِذُ بْنُ عَمْرٍو وَكَانَ رَجُلاً قَدْ أُصِيبَ فِى رَأْسِهِ
آمَّةً فَكَسَرَتْ لِسَانَهُ وَنَقَّصَتْ عَقَلَهُ وَكَانَ يُغْبَنُ فِى
الْبُيُوعِ وَكَانَ لاَ يَدَعُ التِّجَارَةَ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى النَّبِىِّ -صلى
الله عليه وسلم- فَقَالَ :« إِذَا أَنْتَ بِعْتَ فَقَلْ لاَ خِلاَبَةَ ثُمَّ
أَنْتَ فِى كُلِّ بَيْعٍ تَبْتَاعُهُ بِالْخِيَارِ ثَلاَثَ لَيَالٍ إِنْ رَضِيتَ
فَأَمْسِكْ وَإِنْ سَخِطْتَ فَرُدَّ ». فَبَقِىَ حَتَّى أَدْرَكَ زَمَانَ
عُثْمَانَ رَضِىَ اللَّهُ عَنْهُ وَهُوَ ابْنُ مِائَةٍ وَثَلاَثِينَ سَنَةٍ
وَكَثُرَ النَّاسُ فِى زَمَانِ عُثْمَانَ فَكَانَ إِذَا اشْتَرَى شَيْئًا فَرَجَعَ
بِهِ فَقَالُوا لَهُ : لَمْ تَشْتَرِى أَنْتَ فَيَقُولُ : قَدْ جَعَلَنِى رَسُولُ
اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِيمَا ابْتَعْتُ بِالْخِيَارِ ثَلاَثًا
فَيَقُولُونَ ارْدُدْهُ فَإِنَّكَ قَدْ غُبِنْتُ أَوْ قَالَ غُشِشْتَ فَيَرْجِعُ
إِلَى بَيْعِهِ فَيَقُولُ : خُذْ سِلْعَتَكَ وَرُدَّ دَرَاهِمِى فَيَقُولُ : لاَ
أَفْعَلُ قَدْ رَضِيتَ فَذَهَبْتَ بِهِ حَتَّى يَمُرَّ بِهِ الرَّجُلُ مِنْ
أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَيَقُولُ : إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ
-صلى الله عليه وسلم- قَدْ جَعَلَهُ بِالْخِيَارِ فِيمَا يَبْتَاعُ ثَلاَثًا
فَيَرُدُّ عَلَيْهِ دَرَاهِمَهُ وَيَأْخُذُ سِلْعَتَهُ.
عن ابن عمر رضى الله عنهما
قتال : ذكر رجل لرسول الله ص م أنه يخدع فى البيوع فقال له :
إذا بايعت فقال لا خلابة، ثم
أنت بالخيار فى كل سلعةً ابتعتها ثلا ث ليال (رواه البخارى مسلم) [6]
Mengenai masa
tenggang khiyar syarat Para ulama berselisih pendapat mengenai lamanya masa
tenggang waktu dalam khiyar syarat. Namun umumnya mereka sepakat bahwa tenggang
waktu bagi khiyar syarat harus ditentukan secara tegas dan jelas sebab kalau
tidak akad terancam fasad (menurut Hanafi) dan batal.
3.
Khiyar ar-Ru’yah
Yang dimaksud dengan
khiyar ar-Ru’yah adalah hak pilih bagi pembeli untuk menyatakan berlaku atau
batal jual beli yang ia lakukan terhadap suatu obyek yang belum ia lihat ketika
akad berlangsung. Khiyar ini berdasarkan hadits Rasulullah SAW yang mengatakan:
“Siapa yang
membeli sesuatu yang belum ia lihat, maka ia berhak khiyar apabila telah
melihat barang itu”. (HR. Ad-Daruqutni dari Abu Hurairah).
4.
Khiyar Aib.
Khiyar aib adalah kebolehan untuk menentukan pilihan
jadi atau tidaknya akad jual beli yang ditandai dengan ada atau tidaknya cacat
pada barang yang diperjualbelikan. Mengembalikan barang yang dibeli karena
diketahui kecacatannya, diperbolehkan. Hal ini berdasarkan Hadits Nabi SAW,
yang artinya sebagai berikut :
أنّ رجلا إبتاع غلاماً فأقام عنده ماشاءالله وجد به عيباَ فخاصمه إلى
النبي ص م فردّه عليه
(رواه أحمد وأبو داوود واترمذى)
“Sesungguhnya ada seorang laki-laki telah membeli budak, setlah
budak itu menghadap kepadanya ditemukan kecacatanya. Lantas dia mengadu kepada
Rasululloh SAW, kemudian beliau memerintahkan pada orang tersebut agar
mengembalikannya” (HR. Ahmad, Abu Daud, dan Tirmidzi)
4. Khiyar aib relevansinya dengan konsep garansi
Adapun
cacat-cacat yang menyebabkan munculnya hak khiyar, menurut Ulama Hanafiyah dan
Hanabilah adalah seluruh unsur yang merusak obyek jual beli dan mengurangi
nilainya menurut tradisi para pedagang. Sedangkan menurut ulama Malikiyah dan
Syafi’iyah, seluruh cacat yang menyebabkan nilai barang itu berkurang atau
hilang unsur yang diinginkan daripadanya.
Syarat
ditetapkannya khiyar aib
·
Cacat itu
diketahui sebelum atau setelah akad tetapi belum serah terima barang dan harga
atau cacat itu merupakan cacat lama.
·
Pembeli tidak
mengetahui bahwa pada barang itu ada cacat ketika akad berlangsung.
·
Ketika akad
berlangsung, pemilik barang atau penjual tidak mensyaratkan bahwa apabila ada
cacat tidak boleh dikembalikan.
·
Cacat itu tidak
hilang sampai dilakukan pembatalan akad.
Dalam khiyar aib
pembeli memiliki dua pilihan apakah ia rela dan puas terhadap barang yang akan
dibeli. Kalau ia rela dan puas, maka khiyar tidak berlaku baginya dan ia harus
menerima barang. Namun jika ia menolak dan mengembalikan barang kepada
pemiliknya, maka akad tersebut menjadi batal atau dengan kata lain tidak ada transaksi.
B. Garansi
1. Pengertian Garansi Jual Beli.
Kata
garansi berasal dari bahasa inggris Guarantee yang berarti jaminan
atau tanggungan. Dalam kamus besar bahasa indonesia, garansi mempunyai arti
tanggungan, sedang dalam ensiklopedia indonesia, garansi adalah bagian dari
suatu perjanjian dalam jual beli, dimana penjual menanggung kebaikan atau
keberesan barang yang dijual untuk jangka waktu yang ditentukan. Apabila barang
tersebut mengalami kerusakan atau cacat, maka segala biaya perbaikannya di
tanggung oleh penjual, sedang peraturan-peraturan garansi biasanya tertulis
pada suatu surat garansi.
Garansi
dalam jual beli adalah tanggunagn atau jaminan dari[7]
seorang penjual bahwa bahwa barang yang dijual tersebut bebas dari kesusakan
yang tidak di ketahui sebelumnya.
Dengan
demikian, garansi merupakan salah satu bentuk layanan yang diberikan penjual
kepada pembeli sebagai pemenuhan terhadap hak-hak pembeli. Terutama hak untuk
memperoleh barang yang sesuai dengan nilai tukar yang dikeluarkan. Pada tahap
ini kepuasan konsumen atau kekecewaannya berkenaan dengan transaksi yang
diselenggarakan akan segera menjadi kenyataan, apakah barang yang telah dibeli
oleh konsumen tersebut berkualitas baik atau tidak. Untuk mengetahui hal ini,
maka garansi memiliki peranan yang sangat penting bagi konsumen.
Pelayanan garansi merupakan bentuk
penanggungan yang menjadi kewajiban penjual kepada pembeli terhadap cacat-cacat
barang yang tersembunyi. Selain itu garansi juga sebagai salah satu upaya untuk
melindungi kepuasan konsumen.
2. Tujuan dan Fungsi Garansi Jual Beli.
Dalam
perkembangan dunia perdagangan dewasa ini, garansi merupakan kepentingan
konsumen yang sangat vital, sehingga garansi dalam jual beli memiliki fungsi
sebagai penjaminan apabila dalam masa-masa garansi ditemukan cacat-cacat
tersembunyi oleh pembeli dan pengikat terhadap pihak penjual untuk memenuhi
prestasi (kewajiban) yang telah disepakati bersama dengan pembeli.
Mengenai
ketentuan-ketentuan yang merupakan kesepakatan antara kedua pihak dalam
perjanjian garansi jual beli biasanya tercantum dalam surat garansi yang
diberikan kepada pembeli, antara lain berupa jenis cacat yang termasuk dalam
penjaminan masa garansi dan sebagainya. Ketentuan-ketentuan tersebut biasanya
dibuat oleh pihak penjual sebelum transaksi sehingga pembeli tidak ikut andil
dalam memutuskan ketentuan-ketentuan itu. Pembeli tidak berhak untuk menawar
syarat-syarat yang telah ditentukan oleh penjual. Dalam perjanjian ini, pembeli
hanya dihadapkan pada dua pilihan yaitu:
·
Jika pembeli
ingin melakukan transaksi, maka harus sepakat dengan ketentuan-ketentuan
tersebut.
·
Jika pembeli
tidak sepakat dengan ketentuan-ketentuan tersebut, maka transaksi tidak akan
terjadi.
Adapun
hak dan kewajiban antara penjual dan pembeli dalam perjanjian garansi jual beli
dapat dijumpai dalam undang-undang no.8 tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen. Diantara hak dan kewajiban tersebut adalah:
·
Pembeli berhak
untuk memilih barang, serta mendapatkan barang tersebut sesuai dengan nilai
tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan.
·
Pembeli berhak
atas informasi yang benar, jelas, jujur mengenai kondisi dan jaminan barang.
·
Pembeli berhak
untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi, atau penggantian apabila barang yang
diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.
·
penjual wajib
memberikan informasi yang benar, mengenai kondisi dan jaminan barang serta
memberikan penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan.
·
Penjual wajib
menjamin mutu barang yang diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu
barang yang berlaku.
·
Penjual
berkewajiban untuk memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji atau
mencoba barang tertentu serta memberi jaminan garansi atas barang yang
diperdagangkan.
·
Penjual wajib
memberikan kompensasi, ganti rugi dan penggantian apabila barang yang diterima
atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
3.
Ketentuan Operasi
Garansi Jual Beli.
Garansi
jual beli merupakan jenis fasilitas dari penjual yang sangat bermanfaat bagi
semua pihak, baik bagi pemberi garansi (penjual) sendiri maupun bagi
penerimanya (pembeli) serta bermanfaat bagi masyarakat pada umumnya, tidak
menimbulkan bagi orang lain, melainkan merupakan tindakan saling tolong
menolong dalam kewajiban yang sangat dianjurkan oleh agama.
Garansi
jual beli sebagaimana yang berjalan sekarang ini memang tidak dikenal pada masa
Rasulullah SAW, namun bukan berarti terlarang, karena pada dasarnya semua bentuk
muamalat adalah boleh.
Dalam
Islam, manusia juga diberi kebebasan untuk mengatur kehidupannya sendiri yang
dinamis dan lebih bermanfaat, sepanjang aturan yang dibuatnya tersebut tidak
bertentangan dengan ketentuan syari’at islam termasuk melakukan berbagai macam
bentuk muamalat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya. Apabila ada suatu kelaziman
yang diterima ditengah-tengah masyarakat dan tidak bertentangan dengan
syari’at, maka kelaziman tersebut bisa dijadikan hukum. Hal ini sesuai dengan
kaidah fiqih yang berbunyi “Adat kebiasaan yang diakui dapat dijadikan sebagai
landasan hukum”. Dengan kata lain, bahwa pelayanan garansi jual beli sudah
sesuai dengan prinsip-prinsip hukum muamalat sebagaimana yang diungkapkan oleh
Ahmad Azhar Basyir yaitu:
·
Pada dasarnya
segala bentuk muamalat adalah mubah, kecuali yang ditentukan lain oleh
al-Qur’an dan hadits.
·
Muamalat
dilaksanakan atas dasar suka sama suka, tanpa ada unsur paksaan.
·
Muamalat
dilakukan atas dasar pertimbagan mendatangkan manfaat dan menghindarkan
kemudaratan.
·
Muamalat
dilakukan dengan memelihara nilai keadilan.
Karena
garansi merupakan perjanjian yang berupa penjaminan terhadap cacat yang
tersembunyi oleh penjual kepada pembeli dalam jangka waktu tertentu, maka dalam
hukum Islam pembeli berhak menggunakan hak khiyarnya apabila terdapat cacat
yang tidak diketahui sebelum transaksi oleh penjual dan pembeli. Hak khiyar
yang dimaksud dalam hal ini adalah khiyar aib (cacat). Seperti yang sudah
dijelaskan sebelumnya, khiyar aib adalah hak untuk memilih antara meneruskan
atau membatalkan akad apabila ditemui cacat pada barang yang dipejual belikan.
Tetapi hak khiyar tidak berlaku pada cacat yang telah diketahui sebelum yerjadi
jual beli. Namun demikian Islam melarang jual beli yang mengandung cacat,
tetapi berusaha disembunyikan untuk mendapatkan harga dan keuntungan yang
tinggi.
- Definisi musaqah, muzara’ah dan pengembangannya dalam kontekstualisasinya dengan ekonomi modern.
A.
Musaqah
1. Pengertian dan
hukum Musaqah
Secara
etimologi, Musaqah berasal dari bahasa Arab, fi’il madli-nya adalah saqa yang
artinya mengalirkan, karena mengikuti wazan mufa’alah maka kalimat saqa juga
berubah menjadi musaqah.
Adapun menurut terminologi islam, antara lain :
معا قدة دفع الاشجارالى من يعمل فيها
على انّ الثّمرة بينهما
Suatu akad dengan memberikan pohon kepada penggarap agar
dikelola dan hasilnya dibagii diantara keduanya.
Jadi Musaqah adalah suatu usaha bersama antara
pemilik kebun dengan petani penggarap, yang hasilnya dibagi berdasarkan
kesepakatan.
Dalam kitab fahul
muin dijelaskan bahwa musaqoh adalah
boleh (jaiz).
تجوز المساقاة : وهي ان يعامل الملك غيره على نخل او شجر
عنب مغروس معين فى العقد مرئي
لهما عنده لينعهّده بالسقي والتربية، على انّ الثمرة الحاد
ثة او الموجودة لهما
Artinya : bahwa musaqoh boleh dilakukan, musaqoh adalah perlakuan oleh pemilik kepada orang lain
untuk mengairi serta merawat pohon kurma atau anggur yang ditentukan dalam akad
dan diketahui oleh dua belah pihak, atas perjanjian bahwa buah yang baru atau
telah ada dimiliki bersama.
Hukum pelaksanaan musaqah adalah jaiz (boleh), hal ini
berdasarkan Hadist Rasululloh SAW, sebagai berikut.
عن ابن عمر رضى الله عنه انّ النبي صلى الله عليه وسلّم عا
مل أهل خيبر بشرط ما يخرج منهما من ثمر
أو زرعٍ (متفق عليه)
Dari Ibnu Umar Ra, ” Bahwasanya
Nabi SAW telah memperkerjakan penduduk khaibar dengan syarat akad diberi upah
separuh dari hasil tanaman atau buah-buahan yang keluar dari lahan tersebut.
وروى البخارىّ الأن الأنصار قالت للنبيّ صلى الله عليه وسلّم أقسم بيننا وبين اخواننا النّخيل
قال : لا، فقالوا
تكفّونا المؤو نة ونشرككم فى الثمرة ؟ قالوا سمعنا و اطعنا (رواه البخارى)
Artinya : Al Bukhari meriwayatkan : Bahwasanya orang Anshar meminta kepada Nabi SAW :
”Bagilah antara kami dan saudara-saudara kami kurma” Nabi menjawab : ”tidak”,
lalu mereka berkata : ” Biarlah urusan pembiayaan kepada kami, dan kami
bersama-sama kamu bersekutu dengan memperoleh buah”. Mereka (muhajirin) berkata
: ”Kami dengar dan kami taat”. (HR. Bukhari)
Ulama berbeda pendapat jenis pepohonan yang dapat
dijadikan transaksi musaqoh. Imam Syafi’i[8],
hambali dan Imam maliki berpendapat bahwa
musaqoh boleh terhadap semua
jenis pepohonan (tanaman), ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Imam
Muslim, sebagai berikut :
روى
مسلم عن ابن عمرأنّ رسو ل الله صلى الله عليه وسلم رفع إلى يهود خيبر وأر ضها
على
أن يعملوها من أموالهم ولرسول الله صلى
الله عليه وسلم شطر ثمرها (رواه مسلم)
Artinya: Diriwayatkan dari
Ibnu Umar :”bahwasanya Rasululloh SAW menyerahkan
pohon-pohon kurma dan tanahnya di Khaibar kepada orang Yahudi Khaibar, supaya
mereka mengerjakan tanah itu dengan biaya sendiri dan bagi Rasululoh SAW akan
memperoleh seperdua dari hasil buahnya ” (HR. Muslim)ز
2.
Rukun dan syarat Musaqoh
Adapun Rukun muasaqoh adalah :
1.
Pemilik tanah dan petani penggarap
2.
Pohon atau tanaman dan kebun yang akan dirawat
3.
Pekerjaan yang dilaksanakan baik waktu, jenis dan sifat
pekerjaannya
4.
Pembagaian hasil tanaman atau pohon
5.
Akad, baik secara lisan atau tertulis maupun dengan
isyarat
Syarat-syarat musaqoh
adalah :
1.
Pohon atau tanaman yang dipelihara harus jelas dan dapat
dilihat mata
2.
Waktu pelaksanaan musaqoh harus jelas, misalnya setahun,
dua tahun, atau sekali panen atau lainnya agar terhindar dari dari keributan
dikemudian hari.
3.
Akad musaqah dibuat hendaknya sebelum nampak baiknya buah
atau hasil dari tanaman itu.
4.
Pembagian hasil disebutkan secara jelas.
3.
Jenis Pekerjaan dalam musaqoh
Menurut syeh abu Syuja’ dalam Kifayatul akhyar disebutkan
bahwa jenis pekerjaan dalam musaqah perkebunan itu ada dua macam, yaitu :
a.
Pekerjaan yang manfaatnya untuk buah-buahan yang dihasilkan maka menjadi tanggung jawab
pekerja.
b. Pekerjaan yang
manfaatnya untuk kebut itu sendiri, maka menjadi tanggung jawab pemilik kebun.
4. Pengertian
Muzara’ah dan landasan hukum
Secara etimologi,
mujara’ah (المزارعه) adalah wajan
dari kata مفاعلة dari kata الزرع yang sama artinya dengan الاءنبات (menumbuhkan). Menurut
terminologi muzara’ah ialah kerja sama antara pemilik tanah dengan penggarap
tanah dengan perjanjian bagi hasil yang jumlahnya menurut kesepakatan bersama,
tetapi pada umumnya paroan atau fifty—fiifty untuk pemilik tanah
dan penggarap tanah. Dan bibit dari pemilik lahan/tanah.
Landasan
hukum yang biasa dipakai jumhur ulama tentang muzaraaah yaitu sabda Nabi:
عَنْ اِبْنِ عُمَرَاَنَّ النَّبِيِّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَامَلَ أَهْلَ خَيْبَرَ بِشَرْطِ مَايَخْرُجُ
مِنْهَا مِنْ ثَمَرٍ اَوْزَرْع
)رواه مسلم(
Artinya:
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Dari Ibnu Umar: “Sesungguhnya Nabi SAW. Telah memberikan kebun kepada penduduk khaibar agar dipelihara oleh mereka dengan perjanjian mereka akan diberi sebagian dari penghasilan, baik dari buah – buahan maupun dari hasil pertahun (palawija)” (H.R Muslim)
Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa
rukun mujara’ah adalah ijab dan qabul yang menunjukkan keridaan diantara keduanya.
Ulama’ hanabilah berpendapat bahwa mujara’ah dan musaqah tidak memerlukan qabul
secara lafazh, tetapi cukup dengan mengerjakan tanah. Hal itu sudah dianggap
qabul. Yang tidak boleh dilakukan dalam muzara’ah
Berkata Syaikh Abdul Azhim Al
Badawi: “Dan tidak boleh muzaraah dengan syarat sebidang tanah ini untuk
pemilik tanah dan sebidang tanah yang ini untuk penggarap.”
Dalam penggarapan tanah tidak boleh
adanya unsur-unsur yang tidak jelas seperti pemilik tanah mendapat bagian
tanaman dari tanah sebelah sini, dan penggarap mendapat bagian tanaman dari
tanah sebelah sana. Hal ini dikatakan tidak jelas karena hasilnya belum ada,
bisa jadi bagian tanaman dari tanah sebelah sini yaitu untuk pemilik tanah
bagus dan bagian tanaman penggarap gagal panen ataupun sebaliknya. Dan bila
keadaan ini yang terjadi maka terjadi salah satu pihak dirugikan. Padahal
muzara’ah termasuk dari kerjasama yang harus menanggung keuntungan maupun
kerugian bersama-sama.
Ataupun
bisa terjadi pemilik tanah memilih bagiannya dari tanah yang dekat dengan
saluran air, tanah yang subur, sementara yang penggarap mendapat sisanya.
Inipun tidak diperbolehkan karena mengandung ketidakadilan, kezhaliman dan
ketidakjelasan. Tetapi dalam dalam muzaraah harus disepakati pembagian dari
hasil tanah tersebut secara keseluruhan. Misalnya pemilik tanah mendapatkan
bagian separuh dari hasil tanah dan penggarap mendapat setengah bagian juga,
kemudian setelah ditanami dan dipanen ternyata rugi maka hasilnya dibagi dua,
begitu juga bila hasilnya untung maka harus dibagi dua.
- Aplikasi Musaqah dan Muzaroah dalam Lembaga Keuangan Syariah
Musaqah dan muzaroah dalam lembaga
keuangan syariah merupakan produk khusus yang berkembang di bidang sektor
pertanian, dimana pemilik lahan memberikan lahan pertaniannya dengan benihnya
kepada petani atau penggarap lahan untuk ditanami dan dipelihara dengan imbalan
berdasarkan nisbah yang disepakati oleh keduanya.
Menurut pendapat Syafi’I Antonio
dalam bukunya Bank Syariah dari Teori ke Praktik menuliskan, ada lima prinsip dasar
dalam perbankan syariah. Yaitu: prinsip titipan atau simpanan (depeosito/
al-wadi’ah), jual beli (sale and purchase), sewa (operational lease and
financial lease), jasa (fee-based services), dan bagi hasil (profit sharing).
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang perkebunan atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dalam prinsip dasar yang disebutkan terakhir (bagi hasil) ini, terdapat musyarakah, mudharabah, muzara’ah, dan musaqah Dalam konteks ini, lembaga keuangan islam dapat memberikan pembiayaan bagi nasabah yang bergerak dalam bidang perkebunan atas dasar prinsip bagi hasil dari hasil panen kebun.
Dari semua pendapat ulama mengenai
objek musaqah, tentunya yang lebih relevan adalah pendapat yang membolehkan
musaqah untuk semua tanaman atau pepohonan baik yaang berbuah ataupun tidak
seperti sayur-sayuran. Hal ini dikarenakan jika melihat pendapat ulama yang
membolehkan musaqah hanya sebatas pada kurma dan anggur, maka hal ini akan
menyia-nyiakan tanaman yang lain yang juga mempunyai banyak manfaat. Apalagi,
tidak semua pemilik kebun yang bisa menggarap kebunnnya sendiri. Disamping itu,
banyak juga orang yang mempunyai skill untuk merawat kebun akan tetapi tidak
memilki kebun. Dari sinilah, hubungan antara pemilik kebun dan tukang kebun
saling melengkapi.
Contoh konkritnya diperbankan adalah
ketika seorang nasabah bekerja sama dengan bank yang mengembangkan dananya
melalui sektor riil semacam agrobisnis dan perkebunan. Dalam hal ini, bank
mencari seseorang atau beberapa pekerja yang dijadikan sebagai tukang kebun
yang bertugas merawat, menjaga, dan yang paling inti adalah menyirami kebun tersebut.
Ketika kebun tersebut sudak berbuah, maka bank dan tukang kebun berbagi hasil
sesuai dengan prosentase yang sudah ditentukan pada awal akad.
- Definisi mukhabarah serta kontekstualisasinya di masyarakat modern.
A. MUKHABARAH
1. Pengertian dan hukum Mukhabarah
1. Pengertian dan hukum Mukhabarah
Mukhabarah ialah mengerjakan
tanah (orang lain) seperti sawah atau ladang dengan imbalan sebagian hasilnya
(seperdua, sepertiga atau seperempat). Sedangkan biaya pengerjaan dan benihnya
ditanggung orang yang mengerjakan. Dengan adanya praktek mukahbarah sangat
menguntungkan kedua belah pihak. Baik pihak pemilik sawah atau ladang maupun
pihak penggarap tanah. Pemilik tanah lahannya dapat digarap, sedangkan petani
dapat meningkatkan tarap hidupnya.
Akad mukhabarah diperbolehkan, berdasarkan hadits Nabi saw,yang artinya: “Sesungguhnya
Nabi telah menyerahkan tanah kepada penduduk Khaibar agar ditanami dan
diperlihara, dengan perjanjian bahwa mereka akan diberi sebagian hasilnya.”
(HR. Muslim dan Ibnu Majah)
2. Rukun dan syarat Mukhabarah
Adapun Rukun Mukhabarah Menurut
jumhur ulama ada empat, yaitu:
1.
Pemilik tanah
2.
Petani/penggarap
3.
Objek mukharabah
4.
Ijab Qabul
Ada beberapa syarat dalam
mukhabarah, diantaranya :
- Pemilik kebun dan penggarap harus orang yang baligh dan berakal.
- Benih yang akan ditanam harus jelas dan menghasilkan.
- Lahan merupakan lahan yang menghasilkan jelas batas batasnya, dan diserahkan sepenuhnya kepada penggarap.
- Pembagian untuk masing-masing harus jelas penentuannya.
- Jangka waktu harus jelas menurut kebiasaan.
3. Zakat dan hikmah Mukhabarah
Dalam mukharabah, yang wajib zakat
adalah penggarap (petani), karena dialah hakikatnya yang menanam, sedangkan
pemilik tanah seolah-olah mengambil sewa tanahnya. Jika benih berasal dari keduanya,
maka zakat diwajibkan kepada keduanya jika sudah mencapai nishab, sebelum
pendapatan dibagi dua.
Adapun hikmah Mukhabarah antara
lain:
a. Terwujudnya kerja sama yang saling
menguntungkan antara pemilik tanah dengan petani penggarap.
b. Meningkatnya kesejahteraan
masyarakat.
c. Tertanggulanginya kemiskinan.
d. Terbukanya lapangan pekerjaan,
terutama bagi petani yang memiliki kemampuan bertani tetapi tidak memiliki
tanah garapan
Analisa Metode Pembelajaran
Dalam penyampaian materi ini
menggunakan metode Jigsaw Learning, dengan langkah-langkah :
1. Guru memilih materi sesuai denga
SK/SK dan dibagi menajdi beberapa segmen (Khiyar, musaqah, muzaroah dan
mukhabaroh)
2. Setelah melakukan appersepse, menyapaikan tujuan dan motivasi
3. Guru membagi peserta menjadi
beberapa 4 kelompok, berhiting dari 1-4. Di asumsikan jumlah siswa 20
4. Setiap kelompok mendapat tugas membaca,
memahami dan mendiskusikan serta membuat ringkasan materi pembelajaran, dengan
tema yang berbeda-beda.(kelompok 1 : khiyar, kelompok 2 : musaqah, kelompok 3
muzaroah, dan kelompok 4 : mukhobaroh)
5. Setelah diskusi selesai, Setiap
kelompok berhitung dari 1-4, kemudian dengan nomor yang sama mereka berkumpul
dan menyampaikan hasil diskusinya sesuai dengan tema yang mereka bahas
dikelompoknya masing-masing.
6. Guru mengembalikan suasana kelas
seperti semula, kemudia menanyakan
seandainya ada persoalan-persoalan yang tidak terpecahkan dalam
kelompoknya.
7. Guru mengecek pemahaman siswa dengan
memberikan pertanyaan terkait dengan materi yang dipelajari.
8. Guru melakukan kesimpulan,
klarifikasi dan tindak lanjut.
Media yang di butuhkan :
- Materi ajar
- Spidol
- White board/black board
- Kertas polio
- LCD
Rekomendasi Kelompok:
1.
Musaqoh : Bagaimana bagi hasil untuk pohon-pohon yang tumbuh
/besar tanpa harus ada perawatan ?
2.
Musaqoh/muzaroah/mukhobaroh : dalam akad, bagi hasil harus
jelas apakah dalam bentuk kotor atau bersih ?
3.
Bagaimana bagi hasil, kalau hasil lebih sedikit dari modal ?
Pembahasan :
Prinsip dari pelaksanaan musaqoh,
muzaroah dan mukhobaroh adalah ta’awuniyah, yaitu tolong-menolong. Untuk bagi
hasil bagi pepohonan yang tidak memerlukan perawatan khusus (disiram) itu
tergantung dari kebijakan si pemilik tanah, dan tergantung dari akad pertama,
kalau disebutkan bahwa untuk tanaman keras yang tidak memerlukan perawatan
khusus tidak ada bagi hasil maka penggarap tidak berhak menuntutnya.
Dan pelaksanaan bagi hasil dalam
keadaan bersih atau kotor ini tergantuk pada kesepakatan awal, yang jelas tidak
ada salah satu pihak yang dirugikan. Dan ketika terjadi kerugiana maka kedua
belah pihak berkomunikasi akan hal tersebut.
Oleh karena itu seharusnya
masing-masing pihak mengambil bagiannya itu dari hasil tanah dengan suatu
perbandingan yang disetujui bersama. Jika hasilnya itu banyak, maka kedua belah
pihak akan ikut merasakannya, dan jika hasilnya sedikit, kedua-duanya pun akan
mendapat sedikit pula. Dan kalau samasekali tidak menghasilkan apa-apa, maka
kedua-duanya akan menderita kerugian. Cara ini lebih menyenangkan jiwa kedua
belah pihak.
Diriwayatkan dari jalan Rafi' bin
Khadij, ia berkata:
"Kami
kebanyakan pemilik tanah di Madinah melakukan muzara'ah, kami menyewakan tanah,
satu bagian daripadanya ditentukan untuk pemilik tanah ... maka kadang-kadang
si pemilik tanah itu ditimpa suatu musibah sedang tanah yang lain selamat, dan
kadang-kadang tanah yang lain itu ditimpa suatu musibah, sedang dia selamat,
oleh karenanya kami dilarang. (Riwayat Bukhari)
Kesimpulannya
bahwa dalam pelaksanaan musaqaoh, muzaroah dan mukhobaroh tidak ada pihak yang
dirugikan, rugi atau untung ditanggung bersama, dan prinsip keadilan dan ta’awuniyah/tolong menolong harus
dijalankan.
Terima
kasih.
DAFTAR PUSTAKA
1. Al-Qur’an
terjemah depag
2. Abdul
aziz Muhamad azzam, Fiqh Mu’amalat Sistem transaksi dalam Islam, Sinar
Garfika Offset
3. Saleh
Al Fauzan. Al Mulakhasul Fiqhi/Fiqih sehari-hari. Gema Insani
4. Khatib
Syarbini. IQna.Dar al khotob al ilmiyah
5. Imam
syafi’I Abu Abdullah Muhamad Bin Idris. Ringkasan
Kitab al Umm Jilid 2. Pustaka Azzam
- Suharwadi. K. lubis, Farid Wadi. Hukum Ekonomi Islam.
- Syeh Zaenuddin, Fathul mu’in, syirkat maktabah musthafa al bab al majlisi wa aoladih,
- al Imam taqiyudin. Kifayatul Akhyar (terj). PT Bina Ilmu, Suarabaya, 1997
- Abu Bakar al Huasini
- Tengku Muhamad Hasby Ash Shidiqy, Koleksi Hadits-hadits Hukum-3
- Yusuf Qardawi, Halal Haram dalam Islam. Era Intermedia Solo 2003
- http://suryannie.wordpress.com/kegiatan-muzaraah-mukhabarah-mudharabah-dan-sirkah/
- http://ridaingz.wordpress.com. /konsep-khiyar-aib-dan-relevansinya-dengan-garansi/
[1]
Abdul aziz Muhamad azzam, Fiqh Mu’amalat Sistem transaksi dalam Islam, hlm.
99
[2]
Terjemahan Al-Qur’an
[3]
Ibid. hlm. 100
[4]
Saleh Al Fauzan. Al Mulakhasul Fiqhi/Fiqih sehari-hari. Hlm. 377
[5]
Khatib Syarbin. IQna. Hlm. 248
[6]
Ibid. hlm. 249
[7]
Suharwadi. K. lubis, Farid Wadi. Hykum Ekonomi Islam. Hlm. 149
[8]
Imam Syafi’I abu Abdullah muham bin idris. Ringkasan kitab al Umm, buku
jilid 2. Hlm. 221
Komentar
Posting Komentar